Alasan Bupati Pati Naikkan PBB 250 Persen, Ini Kata Pemkab
Kebijakan Bupati Pati yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen membuat heboh masyarakat. Tidak sedikit warga yang mengeluhkan kenaikan drastis ini, apalagi dilakukan saat kondisi ekonomi masyarakat belum sepenuhnya pulih.
Namun, di balik sorotan dan protes, pemerintah Kabupaten Pati ternyata punya alasan tersendiri mengapa kebijakan ini diambil. Melalui konferensi pers, pihak Pemkab menyatakan bahwa kenaikan PBB ini merupakan bagian dari strategi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk mendanai pembangunan dan layanan publik.
Langkah ini dinilai perlu sebagai bentuk kemandirian fiskal daerah. Tapi, benarkah alasan tersebut bisa diterima? Dan bagaimana respons masyarakat? Berikut ulasan lengkapnya.
Kenaikan PBB yang Mengagetkan Masyarakat
pesonalawas.com – Awal Agustus 2025 menjadi momen yang mengejutkan bagi warga Kabupaten Pati. Banyak dari mereka menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dengan angka yang melonjak tajam dari tahun sebelumnya. Tidak tanggung-tanggung, ada yang naik 100%, 150%, bahkan mencapai 250%.
Kenaikan ini terjadi merata di hampir seluruh kecamatan. Mulai dari wilayah perkotaan, pedesaan, hingga daerah pesisir. Para wajib pajak pun mengaku bingung dan merasa tidak mendapatkan sosialisasi yang cukup terkait perubahan ini.
Salah satu warga Kecamatan Margorejo, Suyatno (54), mengatakan bahwa nilai PBB rumahnya melonjak dari Rp250 ribu menjadi Rp850 ribu dalam setahun. “Kami rakyat kecil. Kenaikan seperti ini memberatkan sekali. Kalau satu dua kali lipat masih bisa dinalar, tapi ini sampai dua kali lipat lebih,” ujarnya.
Keluhan seperti itu banyak disuarakan di media sosial hingga menjadi trending topik di berbagai platform. Warga juga menggelar aksi protes di depan Kantor Bupati Pati sebagai bentuk penolakan kebijakan ini.
Penjelasan Pemkab Pati: Kenaikan PBB untuk Kemandirian Daerah
Di tengah gelombang kritik, Bupati Pati melalui Dinas Pendapatan Daerah (Bapenda) angkat bicara. Menurut mereka, revisi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menjadi alasan utama kenaikan PBB yang drastis ini. NJOP dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi harga pasar terkini.
“Kami sudah lebih dari lima tahun tidak melakukan pembaruan NJOP. Akibatnya, ada ketimpangan antara nilai pajak dengan nilai sebenarnya dari aset tanah dan bangunan di lapangan,” ujar Kepala Bapenda Pati, Ir. Suharto.
Ia menambahkan bahwa kenaikan ini juga menjadi strategi untuk meningkatkan PAD demi pembangunan yang lebih berkelanjutan. Dana dari PBB akan dialokasikan untuk infrastruktur desa, perbaikan jalan, kesehatan masyarakat, hingga sektor pendidikan.
“Kalau kita terus bergantung dari pusat, pembangunan tidak akan optimal. Kami ingin Pati jadi daerah yang mandiri secara fiskal,” tegasnya.
Kritik: Sosialisasi Minim, Bebani Rakyat Kecil
Meskipun Pemkab Pati menyampaikan alasannya, namun kritik tajam tetap muncul dari berbagai kalangan. Akademisi, tokoh masyarakat, dan organisasi masyarakat sipil mempertanyakan mengapa kenaikan dilakukan secara drastis dan serentak.
Ketua Forum Warga Pati, Daryono, menyebut bahwa kebijakan ini terkesan terburu-buru. Ia mengatakan bahwa seharusnya ada tahapan atau kenaikan bertahap agar tidak mengagetkan masyarakat, terutama mereka yang ekonominya belum stabil pasca pandemi.
“Logikanya benar, tapi waktunya tidak tepat. Harusnya ada simulasi kenaikan secara bertahap, bukan langsung 2-3 kali lipat,” jelasnya.
Banyak juga yang menyayangkan kurangnya sosialisasi dari Pemkab. Sebagian besar warga baru mengetahui perubahan ini setelah menerima SPPT. Tak sedikit pula yang mengaku tidak paham bagaimana cara melakukan pengajuan keberatan atau banding.
Upaya Banding dan Pengajuan Keringanan Pajak
Melihat respons publik yang cukup keras, Bapenda Pati membuka jalur pengajuan keberatan dan banding. Warga yang merasa nilai PBB-nya tidak sesuai bisa mengajukan permohonan peninjauan ulang NJOP ke kantor Bapenda dengan membawa bukti pendukung seperti akta tanah dan foto bangunan.
Selain itu, Pemkab juga membuka kemungkinan pemberian insentif atau keringanan untuk golongan warga tertentu. Misalnya, pensiunan, petani dengan penghasilan rendah, hingga lansia yang tinggal di rumah milik sendiri.
Namun, proses banding ini juga mendapat kritik karena dinilai rumit dan membutuhkan waktu panjang. Beberapa warga mengaku kesulitan mendapatkan informasi yang jelas dan prosedur yang transparan dalam proses banding ini.
“Kalau niatnya membantu, ya harusnya disosialisasikan dengan bahasa yang mudah. Kami bukan semua paham hukum pajak,” ungkap warga lainnya.
Dampak Sosial dan Potensi Gejolak Ekonomi Lokal
Kenaikan PBB hingga 250 persen bukan hanya memicu kemarahan, tapi juga berdampak pada perputaran ekonomi di tingkat masyarakat bawah. Banyak pelaku UMKM mulai mengeluhkan biaya operasional yang meningkat karena properti tempat usaha mereka ikut terdampak kenaikan pajak.
Ada juga kekhawatiran bahwa beban pajak ini bisa menyebabkan efek domino, mulai dari kenaikan sewa rumah, harga jual tanah, hingga potensi PHK bagi bisnis kecil yang tak mampu membayar beban baru tersebut.
Beberapa asosiasi pengusaha lokal bahkan menyebutkan bahwa jika kebijakan ini terus dipaksakan, bukan tidak mungkin akan terjadi perlambatan ekonomi lokal dalam waktu dekat.